UINSGD.AC.ID (Humas) — Dalam sebuah kesempatan silaturami alumni haji, seorang jamaah memperlihatkan video viral di media sosial terkait jamaah haji dari wilayah tertentu di negeri ini yang pamer gemerlap perhiasan dan ragam aksesoris glamour lainnya sepulang ibadah haji.
Seketika penulis teringat syekh Al-Makki, salah seorang Imam besar Masjidil Haram yang dalam sebuah kesempatan khutbah jumatnya pernah menjawab fenomena seperti itu dengan metafor “kantong bocor”.
Dengan sangat lembut namun begitu menampar, beliau menarik simpulan, bahwa di satu sisi betapa besar semangat umat Islam untuk melakukan ibadah ritual. Namun di sisi lain begitu miskin spirit untuk internalisasi hikmah ragam ibadah ritual itu dalam kehidupan sosial. Dalam konteks keindonesiaan, realitas paradoksal yang dielaborasi Syekh Al-Makki, penulis sebuat sebagai fenomena gas pol namun rem blong.
Diantara fenomena itu kata Syekh Al-Maki, “Engkau telah berwudhu dengan sebaik-baik wudhu akan tetapi engkau boros memakai air”. Untuk kesempurnaan sholat tentu saja dibutuhkan kesempurnaan dalam berwudhu. Namun Kesempurnaan wudu yang ditempuh dengan memboroskan air adalah hal ironi. Meski air di negeri kita tersedia cukup banyak. Tetapi untuk para pemboros Allah menegaskan mereka itu sebagai saudaranya setan (Qs. Al_Isra; 27).
Fenomena ironi berikutnya kata Syekh Al-Makki, “Engkau bersedekah kepada fakir miskin kemudian engkau menghina dan menyulitkan mereka”. Sprit gas pol dalam sedekah di negeri ini begitu luar biasa. Dari yang sembunyi-sembunyi hingga yang terang-terangan atau dari yang tulus hingga yang modus.
Namun ketika sedekah disertai dengan menyakiti hati yang menerimanya. Sebut saja mereka harus ngantri kepanasan hingga pingsan, berdesakan, rebutan bahkan tawuran. Itu namya bukan sedekah tetapi bantuan langsung tawuran. Atau memberi bantuan dengan menyulitkan mereka yang menerimanya dalam keberpihakan. Fenomena ini adalah gambaran dari rem yang blong.
Berikutnya lanjut Syekh Al-Maki, “Engkau sholat di malam hari, puasa di siang hari, dan mentaati Tuhanmu, tapi engkau memutuskan silaturrahim. Itu adalah kantong bocor”.
Memutuskan tali silaturahim terutama dengan ibu yang telah meminjamkan rahimnya selama 9 bulan untuk tumbuh kembangnya kita sebagai janin. Atau dengan ayah yang sejak dalam Rahim ibu telah menjaga dan mencitai kita sepenuh hati sedalam jiwa. Atau memutus persaudaraan dengan adik dan kakak yang pernah tinggal di rahim yang sama. Hal itu akan menjadi rem blong yang menghanguskan semangat gas pol kita dalam sholat malam, puasa dan ibadah ritual lainnya.
Hal ironi lain yang kerap kali dipraktikan dalam kehidupan keseharain, kata Syekh Al-Makki,
“Engkau memuliakan tamumu dan berbuat baik kepadanya, tapi setelah dia pergi engkau menggunjingnya”.
Perilaku dramaturgi terhadap tamu, dimana di panggung depan begitu sopan, namun di panggung belakang begitu meradang. Di depan semanis madu namun di belakang sepahit empedu. Adalah rem blong yang akan menghanguskan pahala kebaikan kita kepada tamu.
Setiap ibadah selalu memiliki dua orientasi, hablum minalloh dan habum minannas. Keduanya harus seimbang dan setimbang. Kehilangan salah satunya adalah ironi. Tanpa kecuali ibadah haji, Ibadah penyempurna keberimanan dan keberisalaman ini, melalui rukun ihramnya mengajarkan kesederhanaan dalam tampilan. Bila sepulang ibadah haji memamerkan akseoris yang melampaui batas. Itu adalah ironi, seperti gas pol namun remnya blong.
Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.