UINSGD.AC.ID (Humas) — Nabi saw pernah menegaskan bahwa barangsiapa yang menginginkan dunia, dia harus memiliki ilmu; barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat, dia harus memiliki ilmu; dan barangsiapa yang menghendaki keduanya, dia pun harus memiliki ilmu.
Masalahnya sekarang, apakah pengetahuan saja memadai bagi manusia sebagai bekal dalam menempuh jalan kebaikan dan kemaslahatan? Bukankah dalam kenyataan banyak orang yang mengetahui kebaikan, akan tetapi mereka tidak melakukannya dan banyak orang yang mengetahui keburukan, justru mereka menghampirinya dan melakukannya? Lalu, persoalannya di mana?
Al-Hazimi (2000:27) menjawab pertanyaan tersebut dengan mengutip pendapat Ibnul Qayyim Al-Jauziyah. Menurut Ibnul Qayyim, kesempurnaan manusia dapat diraih melalui dua hal, yaitu semangat yang memotivasi dirinya dan ilmu yang menerangi jalan hidupnya. Artinya, kebahagiaan dan keberhasilan manusia tergantung pada dua hal: ilmu pengetahuan dan kehendak.
Kedua hal tersebut tidak dapat diraih hanya dengan mengandalkan potensi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia sebagaimana adanya. Namun, potensi itu perlu dikelola terlebih dahulu melalui cara tertentu. Adapun proses pengelolaannya meliputi kegiatan pengembangan, penghalusan, penyucian, pembersihan, dan pembiasaan.
Kegiatan ini dilakukan dengan cara tertentu, untuk mencapai tujuan tertentu, tentang materi tertentu, dan dilakukan oleh orang tertentu pula. Kegiatan pengelolaan potensi manusia ini lazim diistilahkan dengan tarbiyyah yang hendak memupuk semangat dan mengajarkan ilmu.
Karena kegiatan demikian sangat penting dan strategis dalam memelihara kelangsungan hidup umat manusia, sejak periode tabi’in, tabi’it tabi’in, dan ulama salaf telah dilakukan upaya-upaya untuk memformulasikan dan menyusun kegiatan tarbiyyah. Mereka memformulasikan kegiatan ini dengan beberapa langkah berikut:
Pertama, mendefinisikan apa hakikat manusia itu, bagaimana penciptaan manusia, apa saja unsur pembentuk manusia, apa saja kecenderungan manusia, dan hal-hal lainnya yang terdapat pada manusia sebagai individu maupun anggota masyarakat. Pemahaman tentang jati diri manusia ini sangat penting karena terkait dengan cara mendidik manusia. Pemahaman para ulama tersebut didasarkan atas Al-Quran, sunnah, dan pandangan para sahabat. Kemudian pemahaman tersebut ditemalikan dengan konteks kehidupan umat manusia melalui proses berpikir ilmiah yang dikenal dengan istilah ijtihad.
Kedua, menyusun landasan, tujuan, teori, konsep, dan materi pendidikan Islam. Pada tahap ini para ulama pendidik mengklasifikasikan bidang-bidang kajian pada berbagai subdisiplin. Di antara bidang kajian itu ialah filsafat, prinsip-prinsip pendidikan, metode pembelajaran, materi pembelajaran, etika pendidik dan etika pembelajar, dan sarana pendidikan. Penyusunan dan pembidangan tersebut dilakukan melalui proses ijtihad. Pada proses ijtihad ini digunakan metode pencarian kebenaran, yaitu metode penafsiran teks, logika, berpikir reflektif, dan inkuiri.
Ketiga, mempublikasikan gagasan kependidikan kepada umat sehingga lahir beberapa buku tentang pendidikan sebagaimana dikemukakan Al-Hazimi (2000:7-8). Di antara buku itu ialah Kitabuz Zuhdi karya Ibnu Al-Mubarak (wafat 181 H.), Adabul Mu’allimin karya Ibnu Sahnun (wafat 256 H.), Ar-Risalah Al-Mufashshalah Li`ahwalil Muta’llimin wa Ahkamil Mu’allimin wal Muta’allimin karya Al-Qabasi (wafat 403 H.), Ta’limul Muta’allim fi Thariqit Ta’allum karya Az-Zarnuji (wafat 593 H.), dan Al-Akhlaq Wassir fi Mudawatin Nufus karya Ibnu Hazm (wafat 546 H.). Tentu saja buku yang ditulis para ulama lain tentang kependidikan masih banyak. Pada umumnya, mereka menulis tentang akhlak.
Keempat, memformulasikan karya-karya para ulama salaf ke dalam rumusan kependidikan sebagai sebuah ilmu tersendiri. Kegiatan yang dilakukan para ulama khalaf ini menekankan pada perumusan tujuan, landasan, prinsip, kaidah, dan teori-teori kependidikan. Mereka merumuskan masalah kurikulum, metode pembelajaran, materi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Pada fase ini (ulama khalaf), perkembangan ilmu pendidikan Islam masih bertumpu pada dua sumber utama ajaran Islam dan pandangan para sahabat.
Kelima, seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan kemunduran dunia Islam dan kemajuan dunia Barat, ilmu pendidikan Islam berkembang menjadi dua kubu: yang mempertahankan corak keislaman secara ketat dan kubu yang merespons teori-teori Barat. Meskipun kubu kedua itu merespons teori Barat, kajian mereka tetap berlandaskan pada sumber utama ajaran Islam. Dewasa ini kedua kubu ini terus berjalan sebagai sebuah dinamika keilmuan yang memperlihatkan keunggulan dan kelemahannya masing-masing.
Tahapan pengkajian tentang pendidikan manusia tersebut berhasil melahirkan disiplin ilmu pendidikan Islam sebagaimana yang dikenal dewasa ini. Sebagai sebuah disiplin ilmu, pendidikan Islam telah memenuhi syarat keilmiahan sebagaimana dikemukakan dalam filsafat ilmu. Syarat dimaksud ialah eksplisit, sistematis, dan objektif.
Ilmu pendidikan Islam telah menyatakan secara jelas kriteria yang mendasari penelitian kependidikan dan penyusunan peristilahan secara jelas dan konsisten sehingga orang lain dapat memahami istilah-istilah yang digunakan. Di samping eksplisit, ilmu pendidikan Islam pun bercorak sistematis.
Artinya, ilmu ini disusun dengan menggunakan prosedur standar yang digunakan dalam penelitiannya. Prosedur standar ini lazim disebut—dengan metode yang dalam konteks ilmu pendidikan Islam dikenal sebagai metode ijtihad dan penafsiran. Pemakaian metode ini menuntut penggunanya bekerja secara objektif. Artinya, disiplin ilmu pendidikan Islam dikembangkan secara terbuka, kritis, cermat, dan menggunakan prosedur standar.
Eksistensi pendidikan Islam sebagai sebuah disiplin ilmu juga ditegaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012. Pada pasal 10 ayat 2 dikatakan bahwa salah satu rumpun ilmu pengetahuan itu adalah ilmu agama. Kemudian penjelasan ayat itu mengemukakan bahwa rumpun ilmu agama merupakan rumpun ilmu pengetahuan yang mengkaji keyakinan tentang ketuhanan atau ketauhidan serta teks-teks suci agama antara lain ilmu ushuluddin, ilmu syariah, ilmu adab, ilmu dakwah, ilmu tarbiyah, filsafat dan pemikiran Islam, ekonomi Islam, dan ilmu pendidikan agama.
Pada penjelasan tersebut tampak ada dua disiplin ilmu, yaitu ilmu tarbiyah dan ilmu pendidikan agama. Penulis berpandangan bahwa yang dimaksud dengan ilmu tarbiyah ialah ilmu pendidikan Islam sebagaimana diuraikan di atas, sedangkan yang dimaksud ilmu pendidikan agama ialah disiplin ilmu pendidikan pada agama-agama lain. Wallahu A’lam Bishowab.
A. Rusdiana, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung.