UINSGD.AC.ID (Humas) — Tema haji tahun 2024 kali ini adalah “Haji Ramah Lansia”, sebuah tema yang mencerminkan pelayanan prima kepada—terutama—lansia, termasuk di dalamnya jemaah haji resiko tinggi (risti). Tema ini sangat tepat sebab dari 241.000 jemaah haji Indonesia tahun ini, 45 ribu (sekitar 21 persen) di antaranya merupakan jemaah lansia.
Konsekuensinya, ada perlakuan khusus bagi jemaah lansia mulai saat keberangkatan sampai kepulangan, di antaranya perlakuan khusus dari petugas, pemakaian kursi roda, fasilitas kamar hotel dekat lift, dan lain sebagainya. Sebagaimana sering disaksikan bersama, para petugas haji memperlakukan para lansia dengan sangat baik.
Jamaah haji lansia sangat rawan terkendala dalam melaksanakan rangkaian ibadah haji, karena alasan sakit, misalnya, sehingga tidak dapat melaksanakannya secara sempurna seperti jamaah lainnya, karena mereka harus berada di tempat perawatan medis.
Meskipun demikian, demi sahnya dan kepuasaan ibadah mereka, petugas haji tetap memberikan pelayanan ibadah haji dalam kondisi darurat. Misalnya, fasilitas safari wukuf, fasilitas badal melempar batu di Jamarat, dan badal haji jika jamaah yang bersangkutan wafat sebelum pelaksanaan wukuf di Arafah.
Di antara bentuk pelayanan haji kepada jemaah lansia dan disibilitas, adalah pelayanan skema murur (Bahasa Arab: Artinya “lewat”) di Muzdalifah.
Mabit di Muzdalifah dengan cara murur adalah mabit atau bermalam yang dilakukan hanya dengan cara melintas di Muzdalifah, tanpa turun dari kendaraan. Selanjutnya bus akan langsung membawa jemaah haji menuju tenda Mina.
Skema ini diterapkan sebagai upaya menjaga keselamatan jiwa jemaah haji, atas potensi kepadatan di tengah terbatasnya area Muzdalifah. Skema ini tidak hanya digunakan jemaah haji Indonesia, melainkan juga dari jemaah haji negara lainnya. (www.metrotvnews.com.)
Pada umumnya, setelah melaksanakan wukuf di Arafah tanggal 9 Zulhijjah, jamaah haji akan mabit (bermalam) di Muzdalifah. Mereka akan berdiam di sana (di lapangan terbuka tanpa atap) sampai melewati tengah malam dan selanjutnya beranjak ke Mina juga untuk melaksanakan mabit.
Dengan demikian, skema murur berbeda dengan skema mabit di Muzdalifah pada umumnya. Sebab, dengan skema murur—sekali lagi—jamaah tidak turun dari bus, tetapi hanya lewat dan kemudian melanjutkan ke Mina. Lalu bagaimana tinjauan fiqihnya?
Hukum mabit di Muzdalifah sendiri diperselisihkan di antara ulama. Sebagian memandangnya wajib. Sebagian lain memandangnya sunnah. Status hukum itu sendiri akan menentukan konsekuensi bagi yang tidak melaksanakannya.
Menurut jumhur ulama (mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i) jamaah haji yang tidak mungkin mabit di Muzdalifah karena uzur seperti terkena macet di jalan, atau tersesat jalan, atau salah tempat, sehingga lewat waktu mabit, maka yang sersangkutan tidak dikenakan denda apapun. (Buku Panduan Konsultan Ibadah, Kementerian Agama RI 2019, hlm. 127)
Bukan hanya soal hukum mabit di Muzdalifah, para ulama pun berselisih pendapat seputar berapa lama kadar minimal seseorang mabit di sana. Menurut Mazhab Maliki, antara salat Magrib dan Isya’, beristirahat sejenak di Muzdalifah, dan boleh meninggalkannya walaupun sebelum pertengahan malam.
Mazhab Syafii dan Hambali berpendapat, kadarnya adalah sesaat sebelum tengah malam dan baru boleh meninggalkan Muzdalifah setelah pertengahan malam. Beda lagi dengan Mazhab Maliki, jemaah baru boleh meninggalkannya setelah shalat Subuh tanggal 10 Zulhijjah. (Al-Mughni fi Fiqhil Hajj wal-`Umrah).
Semua orang yang pernah melaksanakan ibadah haji tentu merasakan padatnya Masyair (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Apalagi pada tahun ini, ada sekitar 2,5 juta jamaah haji dari berbagai pelosok dunia berkumpul secara bersamaan di Masyair itu. Bagi jamaah lansia dan disibilitas ini adalah kondisi darurat yang memungkinkan diberlakukan ketentuan hukum pada masa darurat.
Melihat dari ragam pendapat ulama terkait status dan kadar waktu mabit di Muzdalifah, maka pemberlakuan skema murur di Muzdalifah dianggap solusi terbaik bagi jemaah lansia dan disibilitas. Saya sendiri pernah merasakan repotnya melayani jamaah lansia di Muzdalifah, padahal hanya dalam satu kloter. Resiko-resiko akan mungkin terjadi tatkala jamaah lansia disatukan bersama ribuan jamaah lainnya bermalam di lapangan terbuka di Muzdalifah.
Apalagi kaidah pelayanan yang sering disampaikan oleh Menteri Agama adalah “mencegah kemudaratan lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan (darul mafasid muqaddamun `ala jalbil mashlahah)”. Menyertakan jamaah lansia dan disibilitas atau yang sakit dalam skema murur jelas merupakan penerapan yang tepat terhadap kaidah ini.
Hal lain yang perlu disampaikan, sepengetahuan saya, setiap kebijakan baru terkait pelaksanaan haji oleh Pemerintah Saudi Arabia, seperti perluasan tempat tawaf dan sai serta status Mina Jadid, selalu diperkuat oleh fatwa ulama-ulama setempat.
Jadi, skema murur di Muzdalifah adalah solusi terbaik untuk pelayanan prima bagi jamaah haji lansia, sakit, dan disibilitas.
Rosihon Anwar, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung.