UINSGD.AC.ID (Kampus II) — Kita ketahui bersama bahwa tanggal 2 Mei 2024 sering diperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2024. Tujuan dari Hari Pendidikan Nasional Sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan atas jasa-jasa dan perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
Adalah guru bangsa dalam dunia pendidikan dan juga untuk meningkatkan semangat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari itu pula Pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Atas dasar itulah, setidaknya, terdapat empat unsur utama dalam pendidikan yang perlu diperhatikan, yaitu pentingnya ilmu, menuntut ilmu, pengamalan ilmu dan hormat kepada guru.
Pertama, Pentingnya Ilmu; Dalam Islam, ilmu menempati posisi yang begitu penting. Bahkan, ayat Al-Qur’an pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw berupa Surah Al-Alaq 1-5 menerangkan tentang ilmu sebagai berikut:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥
Artinya: “Bacalah dengan [menyebut] nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar [manusia] dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya,” (QS. Al-Alaq [96]: 1-5).
Surah Al-Alaq ayat 1-5 di atas menegaskan, ilmu dalam pendidikan adalah perkara yang penting untuk diraih umat Islam. Bahkan, untuk dapat menjalankan perintah ibadah seperti salat lima waktu, diperlukan ilmu dalam tata cara hingga makna pelaksanaanya.
Kedua, Kewajiban Menuntut Ilmu; Dalam Islam, menuntut ilmu hukumnya adalah wajib tanpa memandang umur, latar belakang, dan sebagainya. Mencari ilmu dalam hal ini tidak terpusat pada bangku pendidikan, namun belajar dari masyarakat dan sekitar kita. Rasulullah Saw. dalam sebuah hadist dari Anas bin Malik Ra. bersabda sebagai berikut:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim”.
Dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. tidak menginginkan seluruh sahabatnya ikut berperang. Ada beberapa kaum muslim yang dianjurkan tinggal bersama Rasulullah Saw. untuk belajar ilmu sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah At-Taubah ayat 122 sebagai berikut:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا
Artinya: “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya [ke medan perang]. Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi [tinggal bersama Rasulullah] untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?”(QS. At-Taubah [9]: 122).
Setiap manusia sejatinya mempunyai semangat untuk mencari ilmu. Tentu saja bukan sembarang ilmu, namun harapannya ilmu yang diperoleh akan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Ketiga, Pengamalan Ilmu; Setiap manusia sejatinya mempunyai semangat untuk mengalkan ilmu. Tentu saja bukan sembarang ilmu, namun harapannya ilmu yang diperoleh akan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Seperti apakah ilmu yang bermanfaat itu? Imam Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah menjelaskan ciri-ciri ilmu yang bermanfaat.
“Ilmu yang bermanfaat adalah yang akan menambah rasa takutmu kepada Allah, menambah kebijaksanaanmu dengan aib-aib dirimu, menambah rasa makrifat dengan beribadah kepada Tuhanmu, serta mengurangkan kecintaanmu terhadap dunia, dan menambah kecintaanmu kepada akhirat, membuka pandanganmu atas perbuatan burukmu, sehingga engkau dapat menjaga diri dari perkara tersebut, serta membebaskan dirimu dari tipu daya syaitan.” (Lihat Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah).
Berdasarkan pernyataan di atas, Imam Al-Ghazali menjelaskan tujuh ciri ilmu yang bermanfaat bagi siapa saja yang memilikinya: (1) Menambah rasa takut kita kepada Allah SWT. (2) Semakin menyadari aib dan kelemahan yang telah dilakukan. (3) Bertambahnya makrifat kita kepada Allah dengan semakin banyak beribadah kepada-Nya.
Berusaha untuk mengurangkan kecintaan kepada dunia. (4) Menambah rindu dan cinta kepada amal akhirat. (5) Bermuhasabah segala perbuatan tercela yang dilakukan dan berusaha untuk menjauhi perbuatan tersebut. (6) Senantiasa menjauhi diri dari tipu daya syaitan.
Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan kepada kita agar sentiasa berdoa supaya dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat dalam sebuah hadis sahih riwayat Abu Hurairah ra berikut ini:
Abu Hurairah berkata; “Rasulullah SAW berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari empat perkara; dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak kusyuk dari jiwa yang tidak puas dan dari doa yang tidak di dengar.” (HR Ibnu Majah No:3827)
Dengan demikian, marilah kita perbanyak doa agar dijauhi dari empat perkara: (1) Ilmu yang tidak bermanfaat (2) Hati yang tidak khusyuk (3) Jiwa yang tidak puas (4) Doa yang tidak didengari Allah.
Selain memohon dari 4 hal di atas, kaitannya dengan ilmu, kita juga diingatkan agar tidak hanya menuntut ilmu dan mengajak orang untuk mengamalkannya. Namun mengamalkan ilmu itu sendiri itu lebih penting. Dalam istilah Jawa disebut ‘Jarkoni’ alias ‘Isoh ujar ning ora nglakoni’, bisa berkata tapi dirinya tidak melakukan. Atau dalam istilah gaul dikatakan ‘Omdo’ alias omong doang. Ada juga istilah NATO yang berarti No Action Talk Only.
Allah SWT mengatakan bahwa kebencian Allah SWT amat besar terhadap orang yang demikian. Hal ini difirmankan dalam Al-Qur’an surat Ash-Shaf (61) ayat 2-3 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (٢) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (٣
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. Ash-Shaf [61]: 2-3).
Adapun hadis yang menegaskan siksaan bagi mereka yang tidak mengerjakan apa yang dia ajarkan terdapat dalam sabda Rasulullah SAW berikut ini:
Dari Abu Zaid Usamah bin Zaid bin Haritsah radhi-allahu ‘anhuma, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Akan didatangkan seseorang lelaki pada hari kiamat, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka, lalu keluarlah isi perutnya – usus-ususnya, terus berputarlah orang tadi pada isi perutnya sebagaimana seekor keledai mengelilingi gilingan. Para ahli neraka berkumpul di sekelilingnya lalu bertanya: “Mengapa engkau ini hai Fulan? Bukankah engkau dahulu suka memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran?” Orang tersebut menjawab: “Benar, saya dahulu memerintahkan kepada kebaikan, tetapi saya sendiri tidak melakukannya, dan saya melarang dari kemungkaran, tetapi saya sendiri mengerjakannya.” (Muttafaq ‘alaih).
Keempat, Hormat Guru; Di samping belajar dengan giat, menghormati dan memuliakan guru menjadi perkara yang begitu penting dalam menuntut ilmu. Guru adalah orang yang mencurahkan waktu hingga pikirannya untuk mendidik kita supaya menjadi tahu perihal ilmu. Imam Burhanuddin az-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim fi Thariqit Ta’allum menjelaskan sebagai berikut:
اِعْلَمْ بِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لاَ يَنَالُ الْعِلْمَ وَلاَ يَنْتَفِعُ بِهِ اِلَّا بِتَعْظِيْمِ الْعِلْمِ وَأَهْلِهِ وَتَعْظِيْمِ الْأُسْتَاذِ وَتَوْقِيْرِهِ. قِيْلَ مَا وَصَلَ مَنْ وَصَلَ اِلَّا بِالْحُرْمَةِ، وَمَا سَقَطَ مَنْ سَقَطَ اِلاَّ بِتَرْكِ الْحُرْمَةِ
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya seorang pelajar tidak akan bisa mendapatkan ilmu dan manfaat ilmu kecuali dengan menghormati ilmu dan orang yang berilmu, memuliakan guru dan menghormatinya. Dikatakan, tidak sukses orang yang telah sukses kecuali dengan hormat, dan tidak gagal orang yang gagal kecuali disebabkan tidak hormat,” (Imam az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim fi Thariqit Ta’allum, [Daru Ibn Katsir: 2014], halaman 55).
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra, orang yang mendapatkan gelar pintu ilmu pengetahuan (Babul ‘ilm) mencontohkan perilaku yang begitu Menghormati Guru. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menceritakan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. pernah berkata sebagai berikut:
أنا عبد من علمني ولو حرفا واحدا
Artinya: “Aku adalah hamba atau budak bagi siapapun yang mengajarkan ilmu kepadaku, walau hanya satu huruf.”
A. Rusdiana, Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung