UINSGD.AC.ID (Kampus I) — Diantara debu perjalanan yang kerap kali menjadi potensi rusaknya keindahan pertemuan dengan Allah dalam ibadah haji dan umrah, adalah pikiran kotor. Pikiran ini lazimnya disupley oleh kebiasaan terburu-buru dalam mengambil kesimpulan. Ketika dihadapkan pada masalah, langsung menghakimi dengan mengumbar emosi, semuanya dan segalanya disalahkan. Dengan begitu, sangat sulit bagi pikiran untuk melihat sisi baik dari sebuah peristiwa.
Dalam setiap negatif life event, apapun bentuknya, dari sudut pandang pikiran yang bersih, jernih dan bening, selalu saja ada hikmah yang tersembunyi. Hal itu, terkait erat dengan kehendak Allah untuk kebaikan hambanya. Dipenghujung Qs. An-Nisa: 19, Allah mengisyaratkan, “Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang teramat banyak.”
Karena itu, bila dalam perjalanan haji dan umrah, bertemu dengan kesenjangan antara harapan dan kenyataan, antara ekspektasi dan realiti. Janganlah terburu-buru mengambil kesimpulan negatif apalagi menghakimi. Sebab pada kesenjangan itu, boleh jadi ada kebaikan tersembunyi yang Allah kehendaki.
Tentu Masih ingat, cerita seorang motivator yang harus mengisi kelas motivasi di Hotel JW Mariot Jakarta pada tanggal 5 Agustus tahun 2003. Tepat pada pukul 12.30 WIB di tanggal itu, ia diagendakan menjadi narasumber. Tetapi di jam itu pula, Ia masih di perjalan karena terjebak kemacetan. Atas kenyataan itu, sang motivator begitu emosional dengan menyalahkan banyak pihak. Dari mulai walikota, gubernur sampai presiden Ia salahkan. Ia hakimi semuanya tidak becus menata kota.
Namun ditengah jebakan kemacetan, tepat pada pukul 12.50, dari radio yang yang ia putar di mobilnya, Ia mendengar kabar bahwa Hotel JW Mariot meledak begitu dahsyat. Ia mengusap dada, menghela nafas, dan dengan deraian air mata, ia lirih berkata, “Tuhan, terima kasih Kau telah membimbing hamba pada jalan yang macet”.
Substansi yang serupa dengan kisah itu, kerap kali ditemui dalam perjalan haji dan umrah. Ada yang penerbangannya ditunda karena pesawat yang akan ditumpangi mendadak rusak. Ada yang kamar hotel mendadak bermasalah, hingga jamaah tidak bisa check in, padahal pihak agent perjalan sudah melunasinya. Ada yang tidak bisa ziarah ke raudhah, lantaran tasreh-nya mendadak bermasalah. Ada juga yang tidak bisa ziarah ke Masjid Kuba, karena otoritas setempat tengah menetralisirnya untuk kepetingan negara, dll. Cerita tentang ibadah haji dan umrah, adalah cerita tentang kelokan dan tikungan tajam yang kerap menyesakan dada.
Pada posisi demikian, yang dibutuhkan adalah menghindari terburu-buru menarik kesimpulan apalagi menghakimi negatif. Caranya; Pertama, fokus pada apa yang bisa dikontrol, bisa dikendalikan, dan bisa dikerjakan. Jangan mikir yang terlalu jauh. Jangan mikir yang tidak bisa dikendalikan. Kedua, relakan apa yang sudah terjadi hari ini dan jangan sekali-kali mengajak pikiran untuk bermain-main pada kata “seandainya”.
Ketiga, terburu-buru mengambil kesimpulan negatif dan menghakimi lazimnya lahir dari rasa takut yang berlebihan. Karena itu, kenali ragam ketakutan itu. Ingat, kita lebih sering menderita oleh imajinasi daripada kenyataan. Biarkan yang ditakutkan itu hadir untuk selanjutnya dihadapi. Sebab dengan mengambil tindakan, setengah dari rasa takut sudah ditaklukan. Sisanya, nikmati apa yang terjadi hari ini, jangan terlalu bimbang menghadapi esok hari. Sebab Allah selalu memiliki rencana terbaiknya.
Aang Ridwan Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Pikiran Rakyat 16 Januari 2024