(UINSGD.AC.ID) — Perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah, diperankan oleh banyak komponen, salah satunya ada kaum Santri. Salah satu definisi santri adalah orang yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
Bila dilihat dari fakta historis, peran para santri ini sangat signifikan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Dengan bimbingan para ulamanya, pergerakan santri di setiap daerah sangatlah masif, baik pada masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan.
Peran dan Dinamika Santri
Mengenai peran santri ini, Clifford Geertz membagi katagori masyarakat Indonesia ke dalam tiga varian, yaitu Santri Abangan, dan Priyai. Pembagian varian ini menunjukkan bahwa santri mempunyai karakter tersendiri dalam kultur bangsa Indonesia.
Dalam catatan Historiografi, peran para santri itu pernah di lupakan keberadaannya sehingga peran dan kiprahnya kurang terinformasikan dalam buku buku sejarah. Misalnya, dalam buku sejarah nasional Indonesia yang 6 jilid, peran santri ini tidak dibahas secara gamblang.
Dalam bahasa Ahmad Mansyur Suryanegara, umat Islam (santri) dalam memerankan dirinya dikaburkan. Dari peran yang dikaburkan ini masyarakat banyak tidak mengetahui terhadap peran kaum santri ini. Betul, dalam teori sejarah, bahwa sejarah ditulis menurut para penulisnya. Sikap subjektif menjadi ciri dari berbagai karya sejarah. Bisa jadi ini dilakukan karena karya sejarah yang ditulis merupakan pesan dari yang mempunyai kepentingan.
Oleh karena itu, dengan adanya peringatan Hari Santri Nasional yang ditetapkan pada masa presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No 22 Tahun 2015 dapat membuka lagi lembaran sejarah yang pernah dilupakan (dikaburkan) dalam karya historis.
Peringatan hari santri ini dilatarbelakangi oleh tiga alasan. Pertama, menginformasikan ke publik peran santri dan pondok pesantren dalam perjuangan sejarah Indonesia. Kedua, dengan diketahuinya peran santri ini, bangsa Indonesia bisa meneladani apa yang diperankan oleh kaum santri. Ketiga, tanggal 22 Oktober merujuk dicetuskannya resolusi jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Akhir-akhir ini, bangsa kita dihadapkan pada berbagai macam persoalan, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, bahkan masalah agama pun mewarnai dinamika kehidupan bangsa ini. Penyikapan terhadap berbagai persoalan ini memerlukan kearifan dari setiap komponen bangsa. Kita bisa melihat bagaimana para ulama dan santri ketika memberikan solusi terhadap berbagai persoalan pada masa dahulu.
Bersikap Arif dan Solutif
Sikap arif menjadi prinsip dalam memberikan solusi terhadap kehidupan nasional. Misalnya, ketika ada perbedaan dalam mendiskusikan dasar negara, bagaimana sikap para ulama pada waktu itu dengan menunjukkan sikap arif yang sangat tinggi.
Penghormatan terhadap adanya kaum agama yang lain di luar Islam, menjadi pertimbangan para ulama (santri) dalam memutuskan dasar negara. Protes kaum non muslim terhadap 7 kata dalam sila pertama dipertimbangkan secara arif oleh para ulama (santri) pada waktu itu, sehingga 7 kata di sila pertama dihapuskan dengan pertimbangan menghargai keberadaan agama lainnya.
Dari peristiwa tersebut kondisi sosial politik bangsa Indonesia mengalami kestabilan dan keharmonisan. Ini terjadi berkat dari sikap moderatnya para ulama (santri) dalam menyikapi pluralisme keberagamaan yang mempengaruhi terhadap situasi politik. Dalam konteks hari santri tahun ini, sudah sepantasnya kita umat Islam mengambil pelajaran dari perilaku, tindakan, dan pikiran para ulama (santri) pada tempo dulu untuk di implementasikan pada saat ini.
Peringatan hari santri bukan hanya dimaknai secara ritual (formal), tetapi bagaimana kita sebagai komponen bangsa mampu memahami substansi dari peringatan harus santri tahun ini. Memberikan solusi terhadap sejumlah persoalan bangsa yang menitikberatkan pada sikap yang moderat dan arif, akan menciptakan suasana kedamaian, ketenangan dan keutuhan dalam berbangsa dan bernegara.
Kita yang berada di dalam kultur perguruan tinggi, seyogianya bisa menjadikan suasana kampus yang senantiasa memproduk para mahasiswa dan alumni yang akan memberikan jawaban terhadap sejumlah persoalan kebangsaan dewasa ini.
Tulisan menarik dari Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., selaku rektor UIN SGD Bandung yang memaknai hari santri dengan menafsirkan simbol simbol kesantrian bisa menjadi pijakan dalam membuat kebijakan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Ia memberi penjelasan terhadap simbol Sarung, Baju Koko, dan Peci.
Dari tulisannya diharapkan kampus bisa menghadirkan santri santri yang berpikir luas dan terbuka dan menghadirkan serta menciptakan suasana religius. Semoga peringatan hari santri tahun ini, banyak gagasan yang bisa memberikan kontribusi bagi meningkatkan kualitas berbangsa dan bernegara. Peringatan hari santri hari ini bisa menangkap makna yang mendalam dari peristiwa masa lalu yang sudah diperankan oleh para santri sehingga kita yang berada pada situasi sekarang bisa meneladaninya sesuai dengan alasan dijadikannya 22 Oktober sebagai hari santri. Wallahualam.
Setia Gumilar, Ketua LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung.