Petuah Sunan Gunung Djati soal Toleransi, Kerukunan dan Hidup Berdampingan

(UINSGD.AC.ID) — Indonesia negeri sejuta keragaman. Kalau hendak dihitung, takkan cukup seribu tahun untuk mengisahkan Nusantara dengan keanekaragamannya. Bentangan 17 ribu pulau, menghamparkan kehidupan manusia dengan suku, bahasa, serta keyakinan yang berbeda.

Kerukunan dan ketentraman sejak lama telah menjadi itikad hidup setiap masyarakat Nusantara. Pun hingga masa itu tiba, masa di mana ajaran Islam mulai memasuki gerbang Selat Malaka. Melalui perdamaian, Islam pun meyakini adanya keharmonisan antar keyakinan, tanpa memaksa, juga tanpa memandang cela.

Dalam buku Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta), Bandung:2002, Humaniora Utama Press. Dadan Wildan menuliskan manusia selayaknya hidup rukun berdampingan. Gotong royong saling melengkapi. Hindari dengki salinglah mengasihi. Ingat nasehatku ini, “Angadahna ing perpadu.” Jauhilah pertengkaran, sebab tanah air ini takkan sudi dihuni oleh manusia tanpa budi pekerti.

Jika ada saudara atau tetanggamu yang tak kau suka, diam dan cukup doakan. Jika ada saudara atau tetanggamu yang tak sesempurna dirimu, diam dan tahan ucapanmu, “Aja ilok ngijek rarohi ing uwong.” Setiap insan dilahirkan dengan sempurna oleh Allah SWT, bukan wewenangmu untuk menghina ciptaan-Nya.

Tuhan kita memang Allah SWT, namun yang hidup di hamparan pulau Nusantara bukan hanya Muslim saja. Hormati keyakinan temanmu, hargai kepercayaan tetanggamu, jangan coba kau usik anutan masyarakat negerimu. Tiap manusia memiliki hati, tiap ucapan mestilah diawasi. “Aja ilok gawe lara ati ing uwong,” titipku jangan sampai dirimu menyakiti hati orang lain.

Tanam dan sebarkanlah rasa cinta untuk semua insan. Hidup rukun dan berdamailah meski berada di tengah perbedaan. “Tepi saliro den adol,” tampilkan perilaku yang baik, karena tentunya kau juga ingin diperlakukan baik. Lindungi kerukunan dengan kebaikan, karena hal itu akan menciptakan ketentraman hidup.

Tetap bersahaja. Bersahabat dengan siapapun. Jangan sekali-kali mengagungkan diri sendiri, “Aja ngagungaken ing salira.” Hidup selayaknya menjadi hamba Allah SWT yang berbakti dengan rendah hati terhadap seluruh makhluk-Nya di muka bumi ini. Bertoleransi, mencintai tanpa menghakimi. (Anisa Hanifah/Magang)

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *