(UINSGD.AC.ID)-Dalam sebuah kesempatan perjalan umrah, seorang jemaah berusia senja dengan kondisi fisik yang teramat lemah, bertanya tentang keabsahan thawaf dan sa’i menggunakan sekuter matik. Sejauh pemahamannya, ibadah haji dan umrah adalah ibadah yang bersifat ta’abbudi. Karena itu, nalar ijtihadi para mujtahid, dalam simpulan literasinya sudah tertutup.
Secara prinsip memang ibadah haji sebagaimana disimpulkan Sayyid Abi Bakar Syatha al-Dimyati, dalam magnum opusnya I’anah al-Thalibin adalah ibadah yang bersifat ta’abbudi bukan ta’aqquli. Ta’aabudi artinya secerdas apapun nalar para mujtahid, ia tidak bisa melakukan rasionalisasi atas perintah ibadah tertentu. Mereka hanya dihajatkan untuk mengambil hikmah atas hukum tertentu bukan illat hukumnya.
Simpulan ini senada dengan analisa Syeh Abdul Wahhab Khallaf Dalam kitabnya, Ilmu Ushul Fiqih-nya (1968:62). Beliau mengkategori hukum menjadi dua jenis. Ada hukum yang al-ma’qulah al-ma’na dan ghairu ma’qulah al-ma’na. Hukum yang al-ma’qulah al-ma’na adalah hukum yang mengandung illat hukum. Karena itu produk ketetapan hukumnya bisa dirasionalisasi, bisa dinalar dan dengan sendirinya bisa dilakukan anlogi (Qiyas).
Adapun yang ghairu ma’qulah al-ma’na adalah hukum yang tidak mengandung illat hukum. Karena itu sehebat apapun nalar sang mujtahid, ia tidak bisa melakukan rasionalisasi terhadap ketetapan hukum tertentu. Karena itu qiyaspun tidak bisa diberlakukan. Pada jenis hukum yang kedua, Allah tidak menjelaskan illat ketetapan hukum ibadah tertentu.
Namun ketika dihadapkan pada kondisi darurat yang sangat mendesak hingga bisa menyebakan kondisi yang membahayakan. Para ulama kontemporer melakukan ijtihad terkait pelaksanaan ibadah haji yang ta’abbudi itu, baik dalam aspek penerapan hukum maupun penetapan hukum. Contoh kasus produk ijtihadnya adalah terkait perluasan area Mina yang mencakup wilayah Muzdalifah hingga lahir area Mina Jadid.
Dalam perkembangan kini, ketika dihadapkan dengan kondisi tertentu yang membahayakan, pada praksisnya ibadah haji tidak hanya dikawal oleh otoritas keagamaan para ulama atau otoritas keilmuan para cendikiawan, tetapi juga diatur oleh otoritas kekuasaan negara. Kendati demikian pengawalan manasik haji tetap saja berlandaskan pada hukum terutama yang terkait dengan prinsip ‘azimah dan rukhsah.
Dalam praktik ibadah haji. Bila keadaan di lapangan normal, diberlakukan hukum ‘azimah, hukum ibadah yang ideal. Namun bila sebaliknya, maka berlakulah hukum rukhshah. Secara bahasa, rukhshah berarti izin pengurangan atau keringanan (dispensasi). Secara istilah para ulama menyimpulkan rukhsah sebagai, “Al-hukmu tsabitu ‘ala khilafiddalilili li’udzrin”, hukum yang berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur. Pada praktiknya rukhsah juga berdasarkan dalil Al-Qur’an dan sunah baik secara tekstual maupun kontekstual.
Secara umum, rukhsah berlandaskan pada firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 185, “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. Dalam Qs. An-Nisa ayat 28, Allahpun menegaskan, “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. Selain itu, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada orang yang berlebih-lebihan dalam agama ini kecuali akan mengalahkannya (tidak mampu melakukannya)”.[HR. Bukhari].
Kembali pada sekuter matik, Untuk jemaah yang udzur, lemah, dan sakit boleh menggunakan sekuter matik, dimana thawaf dan sa’inya tetap sah. Kendati demikian tentu saja harus memperhatikan aspek syarat dan rukunnya. Wallahu’alam.
Aang Ridwan, Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung
Sumber, Pikiran Rakyat 11 April 2023.