“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari pembalasan, seyogyanya ia mengucapkan yang baik saja atau pilihlah berdiam diri.”
Nabi Muhammad SAW
(UINSGD.AC.ID)-BELAJAR berbicara memang tidak gampang. Tapi, belajar diam juga tidak mudah. Bahkan, bisa jadi jauh lebih sulit. Selain tidak ada sekolahnya, juga kerap salah menilai. Dalam realitas, orang yang pendiam cenderung dipahami kampungan, bodoh, tolol, dan tak berpendidikan.
Sebaliknya orang orang yang mengumbar kata seringkali dianggap modern, cerdas, dan berwawasan luas. Ironi zaman memang terjadi. Padahal, Baginda Rasul yang mulia, seperti yang diriwayatkan Ibnu Hibban, menuturkan, “Diam itu hikmah.”
Namun, sayang seribu sayang, tak banyak orang yang mampu melakukannya. Kita merasa menjadi orang pandai, bila kita banyak berbicara dan pandai bersilat lidah. Masalah apa yang dibicarakan luput dari pertimbangan. Manfaat dan madarat tak lagi diperhitungkan, sembrono alias asal bunyi (asbun) tak pelak jadi kebiasaan.
Padahal, jauh-jauh hari Rasulullah SAW mengingatkan: “Kebanyakan kesalahan anak Adam berasal dari lisannya” (HR Thabrani). Bak angin lalu, peringatan ini tak banyak diindahkan, kecuali oleh sedikit manusia.
As-syafi’i, imam mazhab paling disegani dan banyak pengikutnya hingga saat ini, termasuk kelompok yang sedikit. Bila hendak berbicara, Imam Syafi’i selalu memikirkan terlebih dahulu apa yang hendak dikatakanya.
“Kalau jelas ada manfaatnya bagi kepentingan umat, baru aku berbicara. Jika tidak, atau merasa syak (ragu) baik buruknya, maka kupilih lebih baik menutup mulutku rapat-rapat,” paparnya dengan mantap.
Pilih yang Terbaik
Tentu saja prinsip Imam Syafi’i ini bukan sekadar ucapan tanpa makna, juga bukan tanpa kesadaran. Prinsipnya justru lahir dari kesadaran, keyakinan, dan perenungan yang mendalam pada apa yang dikatakan Rasulullah SAW, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari pembalasan, seyogyanya ia mengucapkan yang baik saja atau pilihlah berdiam diri.” Orang-orang yang menghendaki kebersihan dirinya tetap terjaga, akan begitu ketat menjaga lisannya. Bukan sekadar asal ucap, juga bukan sekadar asal bunyi.
Para pendamba kesufian akan lebih menyukai berzikir menyebut-nyebut nama Allah dari pada bercengkrama tanpa manfaat. Lantaran ucapan lisan, bukanlah sekadar lidah bergoyang, juga bukan sebatas ucapan tanpa makna, karena bagaimana pun, apa yang kita ucapkan dan apa yang kita tuturkan akan dihisab Allah.
“Barang siapa yang menjamin kepadaku apa yang ada di antara dua rahangnya (yaitu mulut), dan apa yang ada di antara dua kakinya (yaitu farji), maka aku menjamin surga baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Betapa indahnya jaminan itu, dan banyak orang yang ingin menggapainya. Namun sayang tak banyak orang yang berusaha sepenuh hati untuk meraihnya. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya: surga menjadi harapan, tapi ucapan dibiarkan tanpa kendali, janji-janji manis sebatas di mulut diobral ke sana ke mari. Apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan jauh berbeda, dusta menjadi kebiasaan, ingkar janji menjadi tabiat diri.
Siapa pun kita, patut segera beristighfar memohon ampunan atas segala ucapan yang sarat dengan dusta dan janji-janji kosong penuh kebohongan. Peringatan Allah begitu keras:
“Wahai orang-orang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. As-Saff ayat 2-3).
Dr. Enjang Muhaemin, M.Ag., Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Galamedia 11 Maret 2022