Ziarah untuk Hidup yang Selamat

(UINSGD.AC.ID)-Dalam narasi para ulama, ditarik simpulan, bahwa orientasi ziarah ke tanah suci, baik melalui pintu ibadah haji maupun umrah adalah untuk menjaga amanah hidup agar berada pada jalur sabili rabbik, yakni jalan Allah.

Hasil perjalan ziarah, baik berupa nila-nilai theologis, historis, filosofis maupun sosiologis yang terpadu-padan dengan sejumlah pengalaman spiritual yang dialami, sejatinya menjadi kerangka referensi sekaligus kerangka pengalaman untuk diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Dengan begitu, amanat hidup akan selalu terjaga berada pada jalan yang diridhoinya-Nya.

Orientasi ini menjadi teramat penting dipahami dan disadari kembali. Sebab pada praktiknya, entah karena lupa atau tidak berdaya menahan sejumlah godaan, begitu banyak diantara alumni Tamu Allah yang hidupnya terpelanting begitu jauh keluar dari jalan Allah. Bila begitu adanya, ziarah ke tanah suci dengan segala resikonya yang termat tinggi, hanya menjadi momentum rihlah semata dan tidak memberi konstribusi bagi keselamatan hidup.

Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, diantara manusia yang tidak akan selamat, hidupnya diyakinkan Allah akan celaka, adalah mereka yang banyak berdusta dan berdosa. Allah menegaskan, “Kecelakaan besarlah bagi orang yang banyak berdusta dan berdosa (Qs.Al-Jatsiah:7).”

 Di negeri ini, baik di jagat nyata apalagi maya, kaum modus, modal dusta tumbuh subur laksana cendawan di musim hujan. Mereka adalah entitas manusia yang memiliki multi wajah. Wajah orang taqwa, sholeh, ahli ibadah, ahli ilmu, dermawan, dll. Semuanya mereka miliki. Wajah-wajah itu ia pakai bergantian sesuai kepentingan sebagai alat untuk muslihat.

Bila dusta menjadi modal, maka dosa akan hadir menyertai. Rasulullah SAW menegaskan, “Dan jauhilah dusta, karena dusta membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allâh sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim,No.105).

Dalam hadits lain Rasul menegaskan, perkataan dusta merupakan dosa besar. Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari bapaknya ra, dia berkata, Nabi SAW bersabda, “Perhatikanlah, maukah aku tunjukkan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian para sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasûlullâh.” Rasul bersabda, “Syirik kepada Allâh, durhaka kepada kedua orang tua.”  Sebelumnya Beliau bersandar, lalu Beliau duduk dan bersabda, “Perhatikanlah! Yang ketiga “Perkataan palsu (perkataan dusta)”, Beliau selalu mengulanginya sampai kami berkata, “Seandainya Beliau berhenti”. (HR. Al-Bukhâri, No. 2654) 

Sekaitan dengan itu, untuk kaum modus yang produktif berbuat dosa, Allah menyebutnya sebagai manusia terkutuk, “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai” (Qs.Adz-Dzariat:10-11). Tidak hanya itu, mereka diyakinkan Allah tidak akan mendapatkan hidayah, “Sungguh Allâh tidak memberi hidayah (petunjuk) bagi orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta” (Qs. Al-Mu’min 28).

Ancaman berat lainnya, yang berdampak pada celakanya kehidupan dunia dan akhirat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam Qs.Al-Muthafifin ayat:14-15. “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya perbuatan dosa yang selalu mereka kerjakan itu akan menutupi hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (karena dosa-dosanya) benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka.”

Kembali ke awal, orientasi ziarah ke tanah suci adalah agar hidup berada pada jalan Ilahi. Karena itu jauhilah dusta dan dosa, karena ia akan membawa hidup menjadi celaka.

Dr. Aang Ridwan, M.Ag adalah Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 15 Februari 2022

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *