(UINSGD.AC.ID)-Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggelar Kuliah Umum “Optimalisasi, Sinergi dan Peran Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam Pengawasan Hakim Bersama Binziad Kadafi, S.H., LL.M., Ph.D., Anggota Komisi Yudisial RI, Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum dan Pengembangan yang dilakukan secara virtual melalui aplikasi zoom meeting, Kamis (28/10/2021).
Kuliah Umum yang diikuti 141 peserta ini dibuka oleh Wakil Dekan I FSH, Dr H Syahrul Anwar, MAg. Dalam sambutannya, pihak Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) sangat mengapresiasi Prodi Hukum Keluarga yang menyelenggarakan Kuliah Umum ini sebagai ikhtiar untuk mewujudkan Komisi Yudisial yang bersih, transparan, partisipatif, akuntabel, dan kompeten dalam mewujudkan hakim bersih, jujur dan profesional. “Saya atas nama pimpinan mengucapkan terimakasih kepada Bapak Binziad Kadafi yang bersedia memberikan Kuliah Umum pada Prodi Hukum Keluarga. Mudah-mudahan dengan adanya Kuliah Umum ini civitas akademika dapat ikut andil dan memberikan kontribusi positif atas terwujudnya KY yang bersih, transparan, partisipatif, akuntabel, dan kompeten, sehingga dapat melahirkan hakim yang bersih, jujur dan profesional,” tegasnya.
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Binziad Kadafi, S.H., LL.M., Ph.D., menyampaikan Komisi Yudisial mempunyai tugas:
Pertama, Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim; Kedua, Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; Ketiga, Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup; Keempat, Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; Kelima, Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Kewenangan KY diatur dalam Pasal 24B, yakni bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kekuasaan tersebut diturunkan ke dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY, dan UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY. Namun dalam perjalanannya, kewenangan KY beberapa kali dikurangi melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Salah satunya Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 terkait UU KY dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi bukan obyek pengawasan KY, dengan alasan hakim konstitusi bukanlah hakim profesi seperti hakim biasa,” ungkap Kadafi.
“Sementara lewat Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015, MK menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dari Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dengan putusan ini, KY tidak berwenang lagi dalam proses seleksi calon hakim tingkat pertama di tiga lingkungan peradilan,” beber Kadafi.
Selain dinamika itu, Kadafi menjelaskan ruang lingkup KEPPH dan seluk-beluk pengawasan perilaku hakim serta seleksi hakim agung dan hakim ad hoc di MA yang dilakukan KY. Paparan yang paling banyak mengundang atensi para peserta diklat adalah ketika Kadafi mengelaborasi berbagai tugas dan wewenang KY lainnya seperti advokasi hakim, analisis putusan yang berkekuatan hukum tetap bagi rekomendasi mutasi hakim, serta upaya peningkatan kesejahteraan hakim.
Upaya melakukan optimalisasi pengawasan KY perlu dilihat dari tiga sisi, yaitu: dasar hukum KY sebagai lembaga negara, tugas dan fungsi strategis KY sehingga mendapatkan trust dari publik, serta bagaimana mengoptimalisasikan kewenangan dan fungsi tersebut.
“Untuk mengoptimalisasikan kewenangan KY, sebelumnya kita harus memahami dasar hukum dari lembaga ini. Kita tahu posisinya adalah sejajar dengan lembaga negara yang lain yang diatur dalam Konstitusi. Ketentuan mengenai KY diatur secara jelas pada Pasal 24B UUD 1945. Selanjutnya, kita perlu melihat tugas, fungsi dan kewenangan KY sehingga kita bisa memahami dan mengoptimalisasikannya,” ucapnya.
Mengenai penjabaran dengan mengelaborasi lebih lanjut tugas–tugas pengawasan berbasis perilaku dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang dilakukan KY sejauh ini, dapat dilihat dari sisi lain, seperti melakukan advokasi terhadap hakim, pencegahan, peningkatan kapasitas hakim, dan kerjasama antar lembaga dalam melakukan pengawasan.
Terkait kerjasama antara KY dengan MA, yang telah bersepakat membentuk Tim Penghubung antar kedua lembaga ini. Dalam konteks pengawasan, peran Tim Penghubung ini menjadi sangat penting. Misalnya, untuk lebih memperjelas pelaksanaan keputusan atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh hakim dalam mekanisme pemeriksaan bersama.
Ketua Program Studi Hukum Keluarga, Dr. H. Burhanuddin, S.Ag., M.H. menjelaskan diselenggarakan Kuliah Umum ini dalam rangka ikut serta untuk mewujudkan peradilan yang bermartabat karena peran ini tidak hanya dimiliki oleh KY, MA, tapi akademisi, khususnya mahasiswa sebagai calon generasi bangsa, peneruh estate kepemimpinan, termasuk hakim.
“Untuk itu, aktivitas melakukan advokasi hakim bisa dilakukan berbagai pihak, termasuk dosen, mahasiswa yang memiliki keinginan untuk menciptakan hakim yang bersih, jujur, profesional, sehingga keberadaan kampus tidak jadi menara gading, tapi ikut abdi dalam mewujudkan Komisi Yudisial yang bersih, transparan, partisipatif, akuntabel, dan kompeten,” pungkasnya.