Pernah dengar ungkapan cogito ergo sum? Demikianlah ungkapan dalam bahasa Latin oleh ‘bapa’ ahli filsafat Barat asal Perancis, Rene Descartes (1596-1650). Artinya: ‘Aku berfikir, maka aku ada.’ Lama sebelum Descartes, Islam menetapkan bahwa akal atau berfikir dengan waras merupakan syarat menjadi Muslim untuk mengerjakan solat dan sebagainya. Akal merupakan anugerah tertinggi Ilahi. Jelasnya, eksistensi insan akan diakui karena nilai bertindaknya menggunakan akal waras atau rasional.
Dari Singapura, pemikirnya Profesor Kishore Mahbubani pernah menulis buku kontroversial, Can Asians Think? (2002), yang mengkaji kemampuan bangsa Asia berfikir lebih baik atau sebanding bangsa orang Eropa. Saya rasa kini sangat wajar dikampanyekan kembali kepada masyarakat Indonesia dalam era modern kini agar kembali dapat berfikir secara waras.
Apa sebabnya? Saya melihat banyak fenomena menunjukkan masyarakat Indonesia gagal bertindak dengan betul karena tidak tahu berfikir. Lihatlah ‘demam’ pembelian telepon genggam android terbaru yang dianggap ‘murah’ di masyarakat. Ribuan orang rela antri mendapatkan android tipe terbaru. Seolah-olah mereka tidak takut mati akibat berebutan demi mendapatkan android tersebut. Telepon genggam terbaru dipandang sebagai barang mewah atau lambang kedudukan diri. Padahal, ia cuma telepon saja.
Fenomena masyarakat seperti ini seolah-olah menunjukkan bahwa ‘Aku beli, maka aku wujud’. Mereka tidak menggunakan fikiran untuk menunjukan kewujudan dirinya seperti dikampanyekan Descartes. Masyarakat yang hedonis dan konsumeris seolah-olah tidak menghargai akal fikiran. Yang terpenting mereka disebut hebat, kaya, mengikuti fesyen terbaru dan sebagainya. Bukankah alat komunikasi seperti telefon genggam yang terpenting bisa digunakan menelefon dan ber-SMS atau mengirim WA? Tidak perlu merek terkenal dan mahal.
Saya yakin fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, malah di negara-negara berkembang bahkan maju sekalipun. Memang hak mereka menggunakan uang untuk membeli apa pun yang mereka suka. Tetapi jika mereka menggunakan fikirannya, maka fenomena ini tidak akan terjadi. Akan lebih baik kalau kelebihan uang yang mereka punyai digunakan untuk membantu orang lain. Memang sangat ironis. Sementara di Jakarta orang kaya berebut berbaris mendapatkan android terbaru, di tempat lain ribuan orang antri untuk mendapatkan beras murah.
Modernisme, konsumerisme dan budaya nafsu-nafsi atau hedonis nampaknya terus menjajah fikiran dan gaya hidup masyarakat kita. Globalisme dan kapitalisme nampaknya menjadi penyebab semua ini. Padahal, di Barat kini berlaku ‘Occupy Wall Street’ sebagai protes rakyat terhadap kapitalisme yang gagal karena mengenyangkan para banker atau golongan kaya saja. Apabila bank bankrut, rakyat atau pembayar pajak biasanya terpaksa menanggungnya.
Sayangnya, masalah ini sudah mulai terlihat di Indonesia sejak pertumbuhan ekonomi yang pesat sepanjang kurang sedekad ini, sebelum diterpa badai Covid 19. Akibatnya, jurang antara kaya-miskin (‘kesenjangan’) di Indonesia kian menganga. Hal ini mengkhawatirkan karena dikhuatiri golongan miskin kelak akan protes dan memburukkan perpaduan nasional.
Oleh itu, wajar warga Indonesia yang majoriti Muslim kembali menggunakan ‘akal waras’ atau ungkapan Descartes yaitu berfikir mengenai eksistensinya seperti peribahasa:
Ikut hati, mati Ikut akal, berbekal
Indonesia perlu mengadakan kempen seluruh negara agar rakyat dapat berfikir dalam bertindak dan mengutamakan akhlak yang baik. Jika tidak, amalan rasuah sejak zaman sebelum merdeka yang dikaitkan dengan tamak atau nafsu akan membunuh fikiran. Jadi, sosok insan Indonesia akan hilang makna kehadirannya di bumi ini.
Karenanya, dengan pertumbuhan ekonomi pesat, harga diri perlu dipelihara dengan mempunyai fikiran yang jernih. Dengan cara inilah arti kewujudan dan jati diri warga Indonesia dapat diteruskan.
Ahmad Ali Nurdin, Ph.D., Dekan FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung.