Perhatian terhadap pentingnya variabel moral dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak mulai menurun seiring dengan semakin mengguritanya praktik-praktik anti-politik dalam setiap event pilkada. Seperti praktik jual beli suara (vote buying), perdagangan suara (vote trading), kekerasan, dan malpraktek pemilu (electoral malpractice).
Hal itu menunjukkan adanya apatisme akut di masyarakat terhadap tugas moral dalam pilkada. Tugas moral tersebut sejatinya adalah penyediaan haluan sikap dan perilaku bagi masyarakat pilkada yang sesuai dengan ajaran agama, peraturan sosial, hukum, dan budaya. Selain itu, pengendalian agar kebaikan bersama dan kepentingan publik tetap terlindungi sebagaimana yang telah digariskan dalam keputusan-keputusan politik.
Sayangnya, kini moral sudah dianggap seolah purnatugas karena kehilangan pengaruhnnya di masyarakat pilkada. Secara bersamaan, semakin mencuatnya tugas uang di pilkada, khususnya tugas mempengaruhi suara pemilih.
Belum lagi persoalan lainnya, di mana pilkada langsung banyak disinyalir cenderung menjelma sebagai instrumen oligarki ketimbang sebagai instrumen demokrasi di daerah. Padahal pilkada digadang-gadang sebagai instrumen demokrasi lokal.
Para oligark (oligarch) melalui pengurus pusat partai politik bisa leluasa menentukan siapa yang akan menjadi calon kepala daerah yang diusung melalui rekomendasi sang ketua umum. Ini merupakan bentuk cengkramkan nafsu sentralisme yang membuat demokrasi lokal tidak genuine. Penentuan bakal calon bukan atas kehendak partai politik di daerah secara murni, apalagi atas kehendak rakyat.
Permasalahan pilkada di atas merupakan fenomena puncak gunung es, yang jika luput dari perhatian publik, tentunya akan berlanjut di Pilkada Serentak tahun 2020, sekalipun dalam situasi wabah pandemi seperti sekarang ini.
Menyoroti pilkada serentak di masa pandemi sangat penting, mengingat terbuka celah terjadinya permasalahan baru dan lebih besar lagi ketimbang pilkada di era normal. Seperti potensi munculnya pelanggaran keselamatan jiwa yang telah ditetapkan, sebagai bagian dari electoral distancing dengan basis protokol kesehatan.
Muhasabah politik
Reaktivasi tugas moral dalam pilkada di masa pandemi memang berat. Namun itu tidak bisa menjadi alasan untuk menyerah begitu saja. Pilkada di masa pandemi ini dapat dimaknai sebagai tantangan baru, yang bisa membuka peluang bagi momentum kebangkitan moral, dan secara bersamaan bisa dijadikan ruang muhasabah politik berskala besar.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam muhasabah politik ini. Pertama, integrasi kuasa dan moral. Selama ini moral dipisahkan dari kekuasaan. Hal itu barangkali selaras dengan ajaran dan anjuran Niccolo Machiavelli (1469-1527) yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara politik dan etika, antara kuasa dan moral. Padahal setiap usaha memisahkan dan atau mensekulerisasi kuasa dari moral akan menggerogoti kekuasaan itu sendiri dari dalam. Kekuasaan itu sendiri akan stabil manakala sah secara moral. Dan, dalam konteks politik Indonesia, melalui dan dalam penghayatan nilai-nilai Pancasila, menurut Franz Magnis Suseno (1988), dengan sendirinya sudah menerima adanya hubungan antara kuasa dan moral.
Berintegrasinya kuasa dan moral dalam setiap kontestasi akan menciptakan pilkada bermoral. Pilkada mensyaratkan, persaingan pilkada dan penyelenggaraan pilkada yang baik itu harus sesuai dengan asas-asas pemilu, seperti bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selain itu, harus seirama dengan kaidah-kaidah dasar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kaidah-kaidah itu pun telah ada dalam tubuh Pancasila, yaitu moral ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kekonsensusan, dan keadilan sosial.
Kedua, pendayagunaan kembali para pemangku kepentingan pilkada. Bila merujuk pada Staffan Darnolf (2011), para pemangku kepentingan tersebut di antaranya meliputi institusi penyelenggara pemilu (Electoral Management Bodies/EMBs), partai politik, dan pengamat atau pengawas domestik.
Penyelenggara pemilu memegang fungsi strategis tidak hanya dalam penyelenggaraan pemilu secara prosedural, tetapi juga memastikan proses yang esensial, seperti tahapan-tahapan yang demokratis. Di tambah lagi, khusus pada era pandemi ini, memastikan akan terproteksinya keselamatan jiwa masyarakat pilkada.
Partai politik yang mengusung ataupun mendukung calon kepala daerah harus megaktivasi fungsinya sebagai agen sosialisasi politik dan rekrutmen politik. Rakyat pemilih membutuhkan informasi politik yang memadai dan mencerdaskan, dan proses seleksi calon yang terbuka dan partisipatif. Aktivasi tersebut dapat dilakukan dengan password keteladanan dalam mentaati segala aturan main pilkada.
Pengamat atau pengawas domestik sebagai bagian dari Civil Society Organization (CSOs) memiliki peran strategis untuk mengawal seluruh proses pilkada berdasarkan hasil pengamatan secara objektif dan netral. Pemangku kepentingan CSOs ini bisa berasal dari perguruan tinggi dan institusi media massa. Perguruan tinggi bekerja keras melakukan pengkajian dan penelitian tentang pentingnya moral dalam setiap even pilkada, dan hasilnya bisa dalam bentuk teori, teknologi dan rekomendasi solusi.
Sementara itu, media massa bekerja antusias melakukan pemberitaan pilkada secara seimbang dan mendidik. Selama ini, media massa teridentifikasi sebagai pilar demokrasi, dan karenanya ia masuk pada hitungan indeks demokrasi.
Dimensi yang dihitungnya adalah jaminan atas independensi dari kontrol dan pengaruh negara serta kapital, dengan bertumpu pada kemampuan dan kemauan media massa untuk bertindak sebagai penyambung suara publik, agen demokratisasi, sekaligus pengawas penyelenggara negara, termasuk penyelenggara pemilu. Wallahu’alam bishawab.
Dr. Asep Sahid Gatara, M.Si, Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Bandung; Wakil Ketua ICMI Jawa Barat
Sumber, Pikiran Rakyat 4 Juli 2020