Pandemi Covid-19 telah banyak menelan korban jiwa, seolah mengingatkan kepada kita bahwa kematian pasti datang menyapa. Kepada siapa, kapan, dan di mana saja.
Tua, muda, sehat atau sakit sebelumnya, tidak menjadi jaminan kematian datang lebih cepat atau lambat. Kita sedang menunggu giliran, dengan sebab kematian yang tentu berbeda-beda.
Sejatinya, detik waktu kita terbatas. Entah esok atau lusa, semuanya akan terhenti. Saat kematian sudah digariskan, tak ada tempat pelarian maupun persembunyian. Sungguh, kematian itu sangatlah dekat.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Telah diciptakan di dekat anak Adam 99 musibah (sebab kematian). Jika dia tidak terkena semua musibah itu, dia pasti mengalami ketuaan.” (HR Tirmidzi). Kewaspadaan terhadap ujian ataupun musibah tidak akan membuat kita luput dari kematian. Meskipun terbebas dari musibah, kita akan menua dan merasakan kematian.
Mukmin sejati akan senantiasa mengingat kematian. Sebab, hal itu akan mendorongnya pada kesadaran bahwa hidup tak boleh disia-siakan, sedetik pun, kecuali untuk kebaikan.
Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Mahasuci Allah yang Menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang Menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS al-Mulk [67]: 1-2).
Ayat di atas dimulai dengan kata tabaraka, keberkahan, Allah Yang Mahasuci Pemilik Keberkahan. Al-mulku, kerajaan, Yang Menguasai kemuliaan dan kerendahan. Allah sebagai Penguasa satu-satunya yang dapat berbuat apa pun yang dikehendaki-Nya.
Kemudian ayat dua menunjuk kepada kita sebagai ciptaan-Nya. Allah telah mengingatkan kita untuk tidak perlu khawatir akan kehidupan dan kematian. Allah hanya akan menjemput ajal orang yang sudah ada dalam ketetapan-Nya. Ini artinya, bila pun kita sakit, tidak perlu takut karena belum tentu akan mati. Sungguh, Allah hanya akan mematikan orang yang ada dalam ketetapan-Nya.
Inilah rahasia takdir. Ia akan diketahui setelah kejadian. Untuk sampai kepada penerimaannya, kita harus siap menghadapi ujian atau pun musibah dengan memperbaiki amal-amal yang selama ini (mungkin) pamrih.
Untuk saat ini, di mana wabah korona melanda kita, yang membuat khawatir semua orang, maka amal atau perbuatan baik yang tepat adalah dengan peduli kepada sesama. Setidaknya pada diri kita sendiri, keluarga, dan tetangga terdekat.
Saat keluar rumah, pastikan tubuh dalam kondisi prima dan juga menggunakan masker yang menutupi mulut dan hidung. Masker menjadi syariat dalam menjaga diri tetap sehat. Tetap mengikuti imbauan pemerintah dengan menjaga jarak dengan orang yang ditemui, itu juga masuk dalam investasi kebaikan.
Inilah renungan kita hari ini, mengingat mati. Kematian ibarat sebuah pintu, yang memisahkan antara ruangan satu dengan lainnya. Mengingatnya seperti layaknya kita akan tidur, terpisah dari unsur duniawi.
Saat terbangun dan diberi waktu hidup kembali, bergegaslah memperbanyak amal baik dengan ikhlas dan tanpa pamrih sebagai refleksi totalitas ibadah kepada Allah. Wallahu a’lam.
Naan, M.Ag, dosen Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Hikmah Republika 5 Juli 2020