Tak pernah ada yang lapuk dan menjadi sia-sia dari sebuah pertemuan. Terlebih jika pertemuan itu diikat oleh kemiripin akar dan titik berangkat. Dua orang yang bertemu dalam saat dan waktu tertentu, pun jika pertemuan itu didasari oleh rindu, misalnya, pasti pertemuan itu memiliki makna yang sangat dalam. Bukan pertemuan biasa. Bukan perjumpaan ala kadarnya. Ada dorongan kuat yang membuat pertemuan itu disengaja dan terjadi. Dalam bahasa Judith Butler, seorang filsuf Amerika, dorongan kuat itulah “keterikatan yang primordial dan intim”.
Kamis (13 Pebruari 2020) adalah moment pertemuan yang diikat oleh kesamaan yang primordial dan intim itu. Dua lembaga yang memiliki kesamaan sebutan melakukan “pertemuan”. Kesamaan sebutan itu merujuk pada dua tokoh utama yang berpengaruh dalam arus penyebaran Islam di tanah Jawa. Yang satu mewarisi spirit Sunan Kudus, satunya lagi beruswah pada cara-cara arif yang dilakukan oleh Sunan Gunung Djati.
Dua tokoh hebat bertemu. Apa yang akan terjadi? Kita tidak bisa menerka-nerka jawabannya. Pertemuan itu pasti menyisakan “apophasis”. Meninggalkan “lobang” dan jejak pertanyaan yang memancing diskursus seru para pengamat atau siapapun yang penasaran tentang isi pertemuan itu.
Pasti tak sepadan membayangkan pertemuan dua tokoh hebat yang terkenal karena keshalihannya itu dengan pertemuan yang dilakukan oleh “manusia-manusia cangkang” hari ini. Bisa disebut tak tahu diri menyamakan pertemuan “tingkat dewa” para “salafusshalih” dengan pertemuan yang dilakukan oleh manusia zaman akhir yang mudah rapuh dan gampang mengeluh.
Niatnya sih lurus. Bukan sekadar memberi jejak pada sejarah tapi hendak membangun energi bersama hingga tujuan dan cita-cita bisa mudah untuk diwujudkan. “Membangun energi bersama” adalah kesadaran bahwa yang satu tidak boleh merasa lebih ketimbang yang lainnya. Dengan segala kekurangan dan kelebihan, dua-duanya berdiri pada posisi yang setara-semartabat saling berbagi memberi informasi dan pengalaman. Inilah makna dari primus interpares.
Apa yang hendak dibangun dari berbagi informasi dan pengalaman itu?
Ini zaman administratif. Zaman yang menilai tindakan dan perilaku berdasarkan bukti yang kongkrit dan jelas jejaknya. Dunia akademik kena imbasnya. Performa hebat sebuah lembaga pendidikan hanya bisa ditakar berdasarkan data dan fakta. Tak bisa sekadar mengarang atau mengakui bahwa sebuah pekerjaan sudah dilakukan. Mana buktinya? Mana capaian dan benefitnya?
Selain itu bahwa menara gading akademik harus “dirobohkan” untuk tak hanya menyoal hal yang serba teoritis dan abstrak semata. Menyiapkan anak didik dengan sekadar menempa kepala dan jiwanya. Dunia akademik harus juga menggodok anak didik untuk siap berenang di lautan bebas. Terampil menyiapkan perangkat dan mengasah kemampuan yang bisa membantunya melewati hantaman ombak dan badai yang ganas.
Dua lembaga bertemu. Siap mengarungi lautan bebas itulah tujuan dari pertemuan itu. Allahu a’lam[]
Bandung, 13 Pebruari 2020.
Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.