3 PONDOK PESANTREN YANG BERDEKATAN DENGAN UIN SUNAN GUNUNG DJATI

(UINSGD.AC.ID)-Mahasiswa selain tinggal di Ma’had Al-Jamiah (Kampus 1), Ma’had Tahfiz Al-Quran (Kampus III). Ada juga yang mondok di Pesantren Al-Ihsan, Ma’had Universal, Al-Musyahadah.

Berikut ini profil singkat ketiga Pondok Pesantren itu yang berdekatan dengan kampus dan sebagian besar dikelola oleh Dosen, Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

  1. Pondok Pesantren Al-Ihsan
    Banyak mahasiswa UIN SGD Bandung yang menimba ilmu di Pesantren Al-Ihsan. Pesantren tersebut berlokasi di Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung.

Tak hanya mahasiswa dari UIN SGD Bandung, ada pula mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kampus Cibiru dan STIKES Bhakti Kencana yang menimba ilmu keagamaan di sana.

Adapun cikal bakal Pesantren Al-Ihsan adalah saat dikelolanya Masjid Al-Mubarok yang berada di Desa Cibiru Hilir oleh tokoh masyarakat bernama Kiai Sulaeman Abdul Majid pada tahun 1883 hingga 1955.

Pria yang dikenal dengan sebutan Mama Ule itu mengelola masjid tersebut dan pusat pendidikan bernama Madrasah Miftah As-Shibyan bersama 4 menantunya.

K.H. Sulaeman Abdul Majid (1883-1955) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mama Ule, merupakan keturunan asli Banten. Beliau merupakan seorang tokoh masyarakat di Cibiruhilir. K.H. Sulaeman Abdul Majid memiliki seorang istri yang bernama Siti Khodizah (1903-1981). K.H. Sulaeman Abdul Majid menjadi tokoh masyarakat dikarenakan kekayaan dan kepeloporannya dalam bidang agama Islam.

K.H. Sulaeman Abdul Majid memang tokoh masyarakat yang kaya namun sangat mencintai ilmu. Beliau memiliki tekad yang kuat untuk memajukan Islam, khususnya di Cibiruhilir. Tak heran, jika banyak anak-anak Cibiruhilir yang beliau pesantrenkan. Dengan harapan, kelak mereka mampu menjadi penerus dakwah di masyarakat. Hampir semua tokoh agama Cibiruhilir dikirim belajar ke berbagai pesantren atas biaya beliau.

Selain itu, Beliau juga aktif memperhatikan dan membantu kehidupan fakir miskin. Sudah menjadi legenda bahwa beliau sering berkeliling pada petang hari untuk memeriksa “dapur” fakir miskin. Kegiatan ini merupakan salah satu kiat dakwah beliau.

Keinginan untuk memajukan Islam pun beliau buktikan dengan memasukkan kelima putrinya ke Pesantren Sukamiskin dan Cintawana, Tasikmalaya. Sebagai bagian dari strategi dakwahnya, Beliau menikahkan putri-putrinya dengan para santri berprestasi yang kebanyakan merupakan lulusan dari Pesantren AI-Jawami. Sehingga tak heran jika kelima suami putrinya menjadi tokoh masyarakat. Ke-empat putrinya berdomisili di Cibiruhilir dan satu orang putrinya berdomisili di Cikalang, yang kini menjadi sesepuh Pesantren Miftahul Falah Cikalang.

Beliau bersama keempat menantunya yang tinggal di Cibiruhilir mengelola Masjid Al-Mubarok yang terletak di depan rumahnya sebagai pusat pendidikan yang dikenal dengan Madrasah Miftah As Shibyan. Di masjid inilah generasi muda Cibiruhilir dan desa-desa sekitarnya dibina dengan sungguh-sungguh. Murid-murid madrasah ini tidak menetap dalam komplek madrasah, dikarenakan tempat yang kurang memungkinkan dan tempat tinggal tidak terlalu jauh dari madrasah.

Pada awalnya Madrasah Miftah Ash-Shibyan dikelola secara langsung oleh K.H. Sulaeman Abdul Majid yang dibantu oleh tiga orang menantunya, K.A. Ruhiyat, H. Muchtar, dan H. Muhyidin serta di bantu oleh seorang putera cibiruhilir yakni H. Syamsudin.

Pada tahun 1955, K.H. Sulaeman Abdul Majid wafat, yang bertepatan dengan saat-saat Pemilu pertama di Indonesia. Setelah wafatnya beliau, pendidikan di Madrasah Miftah Ash-Shibyan kemudian dilanjutkan oleh empat orang pengelola di atas. Baru pada tahun 1963, K.H. O.Z. Muttaqien, menantu kelima beliau yang menikahi putri bungsunya turut bergabung mukim di Cibiruhilir. Bersama tiga menantu yang lain, K.H. O.Z. Muttaqien menjadi pilar penyangga pendidikan keagamaan di Madrasah Miftah Ash-Shibyan, sekaligus menjadi pembina agama masyarakat Cibiruhilir.

Pada perkembangan berikutnya, banyak sekali calon santri yang ingin mesantren kepada menantu beliau. Apalagi setelah berdirinya IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, pada tahun 1968. Banyak mahasiswa dari berbagai daerah yang ingin menetap dan belajar disana.

Kedua menantu beliau yakni, K.A. Ruhiyat dan K.H. O.Z. Muttaqien merasa senang atas kedatangan tamu yang ingin menitipkan anaknya sebagai santri. Namun sering pula calon santri pulang dengan kecewa karena saat itu belum tersedianya ruang untuk menampung mereka. Sehingga tak sedikit diantara mereka yang kemudian mencari tempat kost atau kamar sewaan di sekitar masjid Al-Mubarok sehingga mereka tetap dapat mengaji.

Tercatat pula pada tahun 1970-an pengurus DKM dan para kyai meyediakan tempat tinggal bagi beberapa orang di menara masjid dan di ruang bedug. Kondisi ini jelas tidak tuma’ninah dan terkesan sangat darurat. Pelajaran terpenting dari kenyataan ini adalah bahwa animo pendirian pesantren di Cibiruhilir sangatlah besar.

Terdapat dua faktor pendorong sehingga berdirilah pesantren di Cibiruhilir. Pertama, secara internal Mama Ule sendiri telah lama memendam cita-cita untuk mendirikan pesantren. Upaya beliau mengambil menantu santri berprestasi adalah salah satu cara untuk merintis cita-cita tersebut. Kedua, secara eksternal karena adanya dorongan kuat dari orang-orang luar daerah yang ingin mesantren di Cibiruhilir. Kedua faktor inilah alasan berdirinya pesantren di Cibiruhilir.

Mewarisi cita-cita dan semangat dakwah K.H. Sulaeman Abdul Majid serta didorong oleh rasa terpanggil, menyahuti mereka yang betul-betul ingin mencari ilmu. Maka K.H. O.Z. Muttaqien bertekad untuk mendirikan pesantren. Tekad beliau direalisasikan pada tahun 1993 dengan peletakan batu pertama dilakukan oleh Bapak Camat Kecamatan Cileunyi.

Pesantren tersebut diberi nama Mohammad Thoha dengan alasan kedua kata tersebut merupakan sebutan bagi Nabi Muhammad Saw. Ada harapan terbersit bahwa dengan nama tersebut, pesantren ini dapat mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw dalam menyiarkan Islam. Mohammad Thoha juga merupakan nama tokoh pejuang dari Bandung Selatan yang senantiasa gigih tanpa mengenal lelah dalam memperjuangkan dan membela kebenaran. Dengan demikian, nama pesantren tersebut mengandung dua unsur; ke-lslaman dan ke-Indonesiaan. Di satu sisi, pesantren ini hendak mengibarkan panji-panji universal Islam. Di sisi lain pesantren ini juga tak ingin lepas dari nilai-nilai budaya lokal.

Kelangsungan pembangunan Pesantren Mohammad Thoha cukup lancar namun tidak secepat yang diharapkan, mengingat dana yang diperlukan cukup besar. Untuk lebih memperlancar pembangunannya, maka KH. Tantan Taqiyudin, Lc. Putra sulung K.H. O.Z Muttaqien yang sekarang menjabat sebagai Pimpinan Pesantren, mencoba membuat proposal untuk mengajak para dermawan agar sudi kiranya bekerjasama mewujudkan cita-cita yang suci ini. Proposal tersebut dikirm ke berbagai lembaga yang berada di dalam dan luar negeri, antara lain ke Kedutaan Brunai Darussalam, Rabithah Alam Al-Islamy, Haiatul lgatsah Al-Islamiyah Al-‘AIamiyah, Kuwait, dll. Dari proposal yang dikirimkan ternyata ada sambutan yang baik dari Haiatul Igotsah Al-Islamiyah Al-‘Alamiyah Kuwait yang mengirimkan infaq sebesar $.1,000 atau sekitar Rp.2.000.000,-. Dengan uang tersebut, ditambah sumbangan swadaya masyarakat, beliau berhasil menyelesaikan pekerjaan berupa persiapan tanah, fondasi (beton) dan pekerjaan pemasangan dinding bata merah lantai satu.

Sekitar tahun 1994 KH. Tantan Taqiyuddin bertemu dengan Drs. H. Ukman Sutaryan yang menjabat sebagai Ketua Yayasan Al-lhsan. Kesempatan itu beliau gunakan dengan sebaik-baiknya untuk menceritakan pembangunan pesantren. Setelah menyimak cerita tersebut, Drs. H. Ukman Sutaryan akhirnya menawarkan agar pesantren Mohammad Thoha bergabung saja dengan Yayasan Al-Ihsan dan diganti namanya dengan Pesantren Al-Ihsan. Tawaran tersebut, diterima dengan senang hati oleh KH. Tantan Taqiyudin, Lc. karena prinsip beliau nama itu tidak prinsipil yang penting isi dan misinya.

Dengan dikelola oleh Yayasan Al-Ihsan tersebut. akhirnya pembangunan pesantren dapat diselesaikan dengan lancar seperti terlihat sekarang hasilnya. dan sejak saat itu telah resmi pula Pesantren Mohammad Thoha menjadi milik Yayasan Al-Ihsan.

Untuk mengetahui program kegiatan di Pondok Pesantren Al-Ihsan dapat diakses pada laman https://www.ponpesalihsancbr.com/

  1. Pondok Pesantren Mahasiswa Universal (PPMU)
    Pondok Pesantren ini lebih dikenal dengan sebutan Ma’had Universal, adalah salah satu pondok pesantren modern yang terletak di kota Bandung.
    Tepatnya di jalan desa Cipadung, kecamatan Cibiru, kota Bandung yang letaknya langsung bersebrangan dengan MAN 2 Bandung.
    Selain itu Pondok ini menempati lokasi yang cukup strategis bagi kaum pelajar ataupun mahasiswa, karena letak pondok ini dekat sekali dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.

Sebelum didirikan dan diresmikan sebagai pondok pesantren, nama PPMU atau lebih dikenal dengan sebutan Ma’had Universal ini adalah Area Net Work Institut yang dibentuk pada tahun 2006 oleh KH,.Dr,. Tatang Astarudin, .,S.Ag.,SH.,M.Si semasa menjadi mahasiswa di UIN Bandung.

Area Net Work Institut ini adalah sebuah lembaga dimana seluruh para aktifis mahasiswa UIN Bandung yang mengikuti berbagai macam ormas islam seperti HMI,PMII,IMM,KAMI,dan HIMA Persis untuk kegiatan berdiskusi dan berbagai macam pelatihan baik politik maupun pelatihan kepemimpinan.

Awal mula didirikan menjadi sebuah pesantren adalah amanat dan prakarsa dari ayahanda beliau R.H. Soheh SukartaWirya, yang mana beliau adalah Salah seorang veteran pada zaman revormasi sekaligus pendiri yayasan pendidikan Suwargi Buwana Djati, Cirebon. Kemudian dari amanat itulah KH,.Dr,. Tatang Astarudin, .,S.Ag.,SH.,M.Si membangun Pondok Pesantren Mahasiswa Universal (PPMU) yang dibangun pada tahun 2009 dan diresmikan setahun setelahnya.

Nama Universal untuk pesantren ini diambil dari asal muasalnya tempat ini digunakan yaitu tempat seluruh kegiatan aktifis mahasiswa yang tergabung dalam berbagai macam ormas islam yang bersifat universal dan yang memiliki spirit inklusif, empatik, dan toleran . hingga saat ini Ma’had Universal menjadi pesantren modern yang di naungi oleh yayasan pendidikan Suwargi Buwana Djati,Cirebon.

Namun meski termasuk kedalam kategori pesantren modern, Ma’had Universal ini tidak meninggalkan tradisi pesantren salafi seperti masih diberlakukannya sistim mengkaji kitab klasik dengan cara sorogan dan balagan. Hal tersebut dikarnakan latar belakang pendidikan agama pendiri sekaligus pengasuh PPMU ini adalah berasal dari pesantren salafi.

Untuk mengetahui program kegiatan di Ma’had Universal dapat diakses pada laman https://pp-universal.suwargibuwanadjati.org/

  1. Pondok Pessantren Al-Musyahadah
    Ponpes ini berada di bawah Yayasan Rumah Cerdas Indonesia. Berdiri sejak tahun 2012, mayoritas santrinya adalah santri dari golongan kurang mampu yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti dari Aceh, Jambi, Riau, Banten, Garut, Bandung, Sumedang, Cirebon, Indramayu, Ciamis, Tasikmalaya, Jakarta, Bogor, Bekasi, Pontianak, dan daerah lainnya.

Para santri ini untuk sementara menempati ruang tidur seadanya. Pesantren ini beralamat di Jl. Manisi No.38 A Cipadung Kec. Cibiru, Bandung Jawa Barat. Saat ini jumlah santri makin bertambah bahkan kini mencapai ratusan dari kalangan mahasiswa.

Semakin banyaknya santri namun tempat tinggal tidak mencukupi, di tambah lagi Ponpes Al Musyahadah tersebut berada di Jalan Manisi tepat di tengah pemukiman warga yang lokasinya sempit. Pondok Pesantren Al-Musyahadah menjadi jawaban atas kebutuhan Masyarakat urban Kota Bandung dalam membentuk karakter santri yang beradab, berahlaq dan beriman.

Untuk mengetahui program kegiatan di Pondok Pesantren Al-Musyahadah bisa diakses pada laman https://almusyahadahrci.com/

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *