Kepahlawanan Sosial

Penghargaan atas jasa pahlawan yang dilakukan pemerintah dan bangsa ini masih normatif, belum substantif. Baru sekedar seremoni tahunan, dikenang dalam nama jalan, gedung, patung dan museum,  disebut pada saat momentum peringatan kemerdekaan atau hari pahlawan. Sementara, ikhtiar membumikan nilai kepahlawanan untuk mengisi kemerdekaan sehingga menjadi nalar dan mental kebangsaan belum banyak dilakukan.

Mental pekerja keras, peduli, jujur, berkorban ikhlas untuk  mengabdi dan melayani, mengedepankan perdamaian, tolong menolong, bekerjasama satu sama lain tanpa sekat suku, agama, ras dan golongan sudah cukup banyak berkembang, namun belum meluas dan menjadi kekuatan perubahan yang masif.

Kepahlawanan belum menjadi “pusat”, masih “pinggiran”. Ibarat pertunjukkan, belum menjadi pemeran utama, kerap jadi piguran. Aktor utamanya masih selebritis hiburan atau politisi yang sebagian besar mentalnya masih seperti anak Taman Kanak-Kanak (TK).

Para elit politik di negeri ini lupa, dulu para pahlawan berjuang hanya dengan satu jargon, Indonesia merdeka. Tenaga, pikiran, harta dan nyawa dikorbankan demi kemerdekaan dan masa depan anak bangsa.  Bahkan, mereka itu banyak yang tak menikmati hasil perjuangannya, anak cucunya lah yang kini hidup terbebas dari penjajahan. Sayangnya, kemerdekaan sejati itu belum sepenuhnya diraih, lebih dari separuh kekayaan bumi pertiwi telah digadaikan kepada asing. Sementara birokrasi yang sejatinya pemberi pelayanan, masih banyak menjadi mesin pembocor, menari di atas penderitaan rakyat.

Beruntung kita punya Bambang Ismawan, sosok di balik gerakan keswadayaan berbasis warga. Anna Alisjahbana, penggerak pengasuhan dini untuk tumbuh kembang anak. Tri Mumpuni dengan pembangkit listrik tenaga mikro hidronya, menerangi daerah terpencil. Syafi’i Anwar, tokoh pendidikan pluralisme di pesantren melalui pembelajaran berbasis internet, dan sederet nama pahlawan di bidang sosial Indonesia yang tak bisa disebutkan satu persatu. Anomalinya mereka bekerja tanpa sorot media, ikhlas melayani dan memberdayakan. Merekalah contoh pahlawan sejati.

Kewirausahaan Sosial

Sepatutnya kita taruhkan keyakinan akan perubahan pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Apalagi adanya kementerian koordinator pembangunan manusia dan kebudayaan. Kita mendapatkan kesan pemerintahan baru ini memberikan perhatian penuh kepada pembangunan manusia dan kebudayaan Indonesia. 

Namun tentu, pembangunan tak harus menunggu program pemerintah (top down), tetapi juga dapat tumbuh dari masyarakat (bottom up).Apalagi kini, egoisme kelompok masih dipertontonkan dengan telanjang oleh para elit. Suhu politik cukup panas, belum menunjukkan tanda bakal mereda. Bukan tak mungkin, jegal menjegal kebijakan akan terjadi.

Dengan situasi seperti itu, menguatkan masyarakat sipil menjadi kemutlakan. Salah satu strateginya adalah dengan menumbuhsuburkan kewirausahaan sosial, obat penangkal egoisme pribadi dan kelompok yang harus disebar. Kita percaya, silent majority lebih menginginkan kemandirian, kreatif, hebat, berdaya juang tinggi, tangguh dan memiliki kepedulian yang tinggi kepada sesama. Namun hingga kini, vocal minority menguasai panggung media massa dan narasi kebangsaan.

Sebelum menular lebih luas, virus “EGP” (emang gue pikirin), “itu bukan urusan gue” dan sikap masa bodoh lainnya harus segera diciptakan “vaksin”-nya, agar “antibodi” kepedulian kepada sesama dalam tubuh bangsa ini menjadi tangguh.

Ashoka Foundation, sebuah lembaga global di bidang kewirausahaan sosial menekankan karakteristik seorang wirausahawan sosial adalah memiliki gagasan baru dalam menyelesaikan persoalan sosial, kreatif, transformatif dan  apa yang dilakukannya memiliki berdampak sosial dan berakhlak mulia.

Kewirausahaan sosial  merupakan pilar bagi modal sosial (social capital) yang harus dirawat, karena menjadi elan vital, inti dasar dari tumbuh kembangnya masyarakat beradab. Untuk itu ada beberapa strategi yang dapat dilakukan bersama. Pertama, revitalisasi kearifan lokal yang mendorong sikap dan perilaku peduli, saling tolong menolong, gotong royong dan selalu bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah. Budaya “silih asah, silih asih dan silih asuh” harus ditebarkan.

Kedua, penguatan institusi sosial. Lembaga sosial berupa Organisasi Sosial Kemasyarakatan (Ormas), yayasan, LSM, organisasi kepemudaan yang berjumlah puluhan ribu di Indonesia harus berkolaborasi bersama, saling mengisi satu sama lain. Harus ada pergeseran paradigma, dari keberadaan lembaga sosial itu sebagai alat kepentingan kelompok, menjadi alat kepentingan publik. Memang ini tidak mudah, mengingat adanya keterlibatan politik para pengurus atau tokohnya. 

Pada 7-8 Desember 2012 lalu, dalam kegiatan Mien R Uno Foundation (MRUF), bersama pendirinya, Bapak Sandiaga S Uno, penulis berkesempatan belajar banyak hal tentang kewirausahaan sosial ke Bangladesh Rural Advancement Committee (BRAC) dan Grammeen Bank di Bangladesh. Kedua lembaga tersebut diakui merupakan salah satu contoh dari kewirausahaan sosial.

Di Indonesia, saat ini ada Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI), payung dari berbagai lembaga dan relawan filantropi untuk bersinergi bersama. Selain itu, British Council Indonesia menyelenggarakan program keterampilan untuk kewirausahawanan sosial. Sebuah program bermanfaat untuk penguatan kelembagaan. Pada kasus lembaga yang ada di bawah naungan sebuah korporasi, persoalan pendanaan tidak menjadi kendala. Namun banyak lembaga sosial minim pendanaan, sehingga bernasib hidup segan, mati tak mau.

Ketiga, tersedianya pusat kajian sebagai penopang kebijakan dan program. Di Amerika Serikat misalnya, ada Center for Advancement of Social Entrepreneurship. Di Inggris ada Skoll Center for Social Entrepreneurship. Di Indonesia, beberapa perguruan tinggi telah memiliki pusat pengembangan kewirausahaan sosial.

Keempat, menguatkan peran keluarga, sekolah dan pesantren sebagai tempat penyemaian kewirausahawanan sosial sejak dini. Teladan orang tua, kiai, guru akan menjadi embrio bagi tumbuhkembangnya kewirausahaan sosial di kalangan generasi muda.

Kelima, dukungan penuh media massa dan korporasi. Berbagai anugerah yang diberikan kepada para pahlawan sosial yang dilakukan oleh berbagai media massa dan korporasi, idealnya diperluas dan diperbanyak.

Keenam, sebagai rangkaian tak terpisah, keteladanan adalah kekuatan, mengabaikannya adalah penistaan. Para tokoh agama dan masyarakat, politisi, birokrasi dan elit pemerintahan harus menyadari ini sepenuhnya.

Dengan demikian, arus pembangunan melalui pendekatan top down dan bottom up tersinergi, akan menemukan muara besarnya bernama Indonesia sejahtera adil dan makmur. Wallâhu’alam.[]

Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, aktif di Mien R Uno Foundation Jakarta.

Sumber, Pikiran Rakyat 10 November 2014.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *